Tuesday, March 18, 2014

Dr.Rin ni Kiitemite!

Dr.Rin ni kiitemite! atau dalam bahasa Inggris Let's Ask Dr.Rin adalah sebuah anime yang diadaptasi dari manga berjudul sama karya mangaka Arai Kiyoko. Anime ini bercerita tentang seorang gadis SMP bernama Kanzaki Meirin yang jago dalam fengsui. Dengan nama panggung Dr.Rin, Meirin membuat sebuah homepage yang menyediakan konsultasi fengsui dibantu oleh kakaknya. Meirin mempunyai teman masa kecil yang dianggapnya sebagai jodohnya bernama Yuuki Asuka. Meirin juga mempunyai hewan peliharaan yaitu monyet berbulu coklat bernama Tenshin.

UKSW dan Makanan

Berdirinya sebuah pusat kegiatan seperti sekolah, kantor atau tempat wisata, tak ayal memicu tempat-tempat pendukung di sekitarnya menjamur. Toko cendera mata, toko baju, tempat fotokopi, tempat makan, penginapan, toilet umum serta lahan parkir akan bermunculan. Bisa dikatakan bahwa sebuah pusat kegiatan merupakan lapangan pekerjaan baru. Masyarakat sekitar berbondong-bondong meraup keuntungan dari situasi ini.
Dari sekian banyak tempat pendukung yang berdiri, bisnis kuliner merupakan peluang yang paling menguntungkan. Karena manusia memerlukan makanan untuk mengisi ulang energi mereka. Jika kita pikir sekali lagi, tidak ada pusat keramaian tanpa ada restoran, warung makan, kafe, kantin atau hanya sekedar pedagang kaki lima. Penjaja kuliner tersebut tak hanya menawarkan satu jenis makanan saja. Beragam makanan bisa ditemukan dalam satu kawasan. Dari masakan khas daerah tersebut, makanan daerah lain hingga makanan dengan resep yang telah diperbaharui.
UKSW atau Universitas Kristen Satya Wacana merupakan salah satu pusat kegiatan belajar yang berdiri di kota Salatiga. Berdirinya universitas ini memberi banyak kemajuan untuk kota Salatiga. Kota kecil ini semakin ramai penghuni. Dari mahasiswa, pelancong yang sekedar mampir, hingga orang-orang yang datang khusus ke Salatiga untuk mengadu nasib.
UKSW memiliki mahasiswa yang beragam. Semua bagian Indonesia ada di sini. Dari Sabang sampai Merauke. Indonesia asli sampai etnis Tionghoa. Bahkan ada beberapa mahasiswa asing yang memilih belajar di UKSW.
Banyaknya jumlah mahasiswa UKSW tak hanya membuat dua tiga tempat makan berdiri. Hampir di setiap sudut kawasan UKSW ada tempat makan. Depan, belakang, samping dan di dalam kawasan UKSW itu sendiri. Keberagaman mahasiswanya juga membuat banyak pedagang mulai berinovasi dengan menu yang mereka jual. Mereka kini tak hanya menyajikan makanan lokal saja, namun makanan daerah lainnya juga ikut tersedia. Dari masakan Padang hingga masakan Manado. Tak sedikit pula makanan asing seperti makanan Jepang tersedia di UKSW.
Ragam pedagangnya pun tak hanya masyarakat lokal. Bisnis kuliner menjadi salah satu cara para perantau bertahan hidup. Seperti yang terlihat di kafe Satya dan kafe Rindang dalam lingkungan UKSW. Masakan cepat saji, masakan Bali, masakan Cina, masakan Jogja, dan masakan Manado tersedia di sini.
Mungkin alasan rindu akan masakan rumah menjadi pemicu munculnya keberagaman makanan ini. Makanan Manado misalnya. Dulu makanan Manado tak mungkin tersedia di Jawa karena tak ada yang tahu bahan serta cara memasaknya. Namun kini masakan Manado tersedia di beberapa tempat dengan koki asli dari Manado itu sendiri. Tentunya rasa yang ditawarkan tidak sama dengan masakan Manado asli karena bahan yang digunakan sedikit berbeda. Namun hal tersebut cukup mengobati kerinduan mahasiswa Manado akan tanah kelahirannya.
Terlepas dari kerinduan tersebut, banyak mahasiswa perantauan yang menikmati makanan lokal. Cita rasa masakan Jawa yang sedikit berbeda tak menghalangi keinginan mereka untuk mencicipinya. Ada yang lebih memilih makanan daerahnya namun ada juga yang akhirnya menyukai masakan Jawa.
Namun intinya, di dalam UKSW yang luasnya tak seberapa ini, keberagaman etnis dan makanan bisa ditemukan berdampingan. Semua etnis bebas menikmati apapun yang ingin mereka makan tanpa harus pergi ke daerah asal makanan tersebut.

Monday, March 3, 2014

Penutupan Institut Tropen

Koninklijk Instituut voor de Tropen atau Institut Tropen terancam ditutup karena berkurangnya subsidi pemerintah sejak 2008. Untuk mengurangi pengeluaran, Institut Tropen menghentikan pertunjukan musik dan teater, meniadakan pelatihan dan manajemen informasi, serta memberhentikan 23 dari 52 karyawannya. Bahkan layanan Perpustakaan Tropen juga telah ditutup sejak 1 Agustus 2013. Berbagai aksi protes dan petisi dilakukan masyarakat Belanda untuk menentang kebijakan penghematan ini. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk tetap memberi subsidi ke Museum Tropen hingga tahun 2016.
Museum Tropen merupakan museum yang menyimpan koleksi Hindia Belanda sebagai awalnya. Barang-barang kuno yang berasal dari Indonesia, tersimpan rapi di museum ini. Seperti Arca Sri Bharata Anusapati (raja kedua Kerajaan Singosari), De Kris van Knaud (keris milik Paku Alam V yang dihadiahkan kepada Charles Knaud), Pustaha (buku pendeta dari Batak), serta ribuan koleksi tekstil Indonesia. Wayne Modest, Kepala Urusan Museum Tropen mengatakan bahwa koleksi Indonesia adalah koleksi yang sangat bernilai untuk museumnya. Hal ini menegaskan bahwa barang-barang koleksi tersebut tidak mungkin diserahkan kembali ke Indonesia walaupun Museum Tropen akan ditutup.
Penutupan layanan Perpustakaan Tropen memberikan dampak yang luar biasa untuk 900 ribu buku koleksi perpustakaan ini. Hans van Hartevelt, Direktur Perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Tropen sempat khawatir tentang nasib buku-buku tersebut. Namun kekhawatiran tersebut hilang karena Bilbliotheca Alexandria (Perpustakaan Aleksandria) di Mesir siap menampung buku-buku tersebut. Sebelumnya, sebanyak 400 ribu buku telah diambil oleh Rijksuniversiteit van Leiden (Universitas Leiden). Beberapa koleksi juga telah disebar ke banyak universitas dan institut, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri mendapat hibah sebanyak 13 ribu buku dari Perpustakaan Tropen.